"Kenapa tidak boleh dipakaikan nisan beton Ayah? Bukankah akan lebih indah, orang-orang juga akan lebih cepat mengenali, dan yang terpenting makam tidak akan digunakan oleh orang lain?" tanyaku dengan wajah keheranan atas nasehat tadi.
Ayahku terlihat tersenyum.
"Krn itu bukan tanah milik kita anakku, itu milik semua masyarakat, bayangkan kalau semua orang berpikiran seperti kamu tadi, habis dong tanah makam itu, trus yg wafat belakangan mau dimakamkan dimana?"
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Allahu’akbar.. Allahu’akbar.. Allahu’akbar.
Gema takbir kembali terdengar, menghangatkan suasana tanah
kelahiranku ini. Ya, hari ini adalah 1 syawal 1435, hari kemenangan bagi ummat
islam di seluruh jagat raya. Aku baru saja keluar dari masjid, sehabis melaksanakan
shalat ‘Id yang dilanjutkan dengan halal-bi-halal dengan semua masyarakat yang
ada di sana.
Kulirik sejenak jam yang kukenakan ditangan dikiri, tepat
jam 08.30. aku dan kakak pertamaku langsung bergegas menuju pemakaman, tentu
saja untuk berziarah ke makam ayahku.
Tak terlalu lama, kami sudah sampai di pemakaman, terlihat
ada beberapa orang yang sedang sedang khusuk berdo’a, dan aja juga beberapa
orang yang membersihkan makam.
Aku bersama kakak dan keponakanku langsung melangkah
melewati gerbang masuk pemakaman yang lebarnya tak lebih dari dua meter itu.
Aku langsung menuju makam ayah. Letaknya agak di sebelah
utara. Ada rasa yang berbeda, aku tidak tahu kenapa. Sejenak, kualihkan
pandangan mengitari seluruh area pemakaman sambil terus berpikir. Tak ada yang
berbeda dengan tempat ini. Pemakaman ini masih sama dengan apa yang aku lihat
ketika berziarah sebulan yang lalu.
Jlep.. mataku tiba-tiba menyadarkanku tentang sesuatu yang
kurasa berbeda itu. Ya, memang berbeda. Aku tidak tahu, kenapa setiap aku
datang berziarah aku tidak menyadari sesuatu yang berbeda ini. Atau mungkin
tempat ini baru kelihatan perubahannya setelah dibersihkan dalam rangka
menyambut datangnya Idul Fitri.
Mataku kini menyapu satu demi satu makam yang ada di sana.
Sekitar 80% makam sudah menggunakan batu nisan yang terbuat dari beton dengan
tulisan indah di atasnya. Bagi kebanyakan orang mungkin tak ada yang aneh.
Bahkan mungkin yang terlihat aneh adalah makam-makam yang tak menggunakan
nisan, termasuk makam ayahku.
Aku duduk disamping makam ayahku, sebuah makam bersahaja
yang bersih. Makam yang terlihat berbeda karena hanya menggunakan sebentuk batu
kali kecil ditengah, sementara dikiri-kanannya sudah menggunakan batu nisan,
bahkan ada yang disemen.
Apakah anda berpikir bahwa kami tak punya kepedulian untuk
membuatkan batu nisan yang indah? Jika iya, anda salah besar. Ini bukan karena
kami tidak mampu membeli batu nisan. Bukan, samasekali.
Sebuah “warisan ilmu” luar biasa telah diajarkan sosok
lelaki bersahaja itu. Pelajaran untuk berbagi, bukan hanya disaat kita sedang
banyak rezeki, tetapi juga disaat kita tak memiliki apa-apa selain sebidang
tanah seukurun badan kita saja.
Ayah berwasiat agar kami tak memasang nisan beton di atas
makam, apalagi mengecor makam. Alasannya adalah karena tanah makam bukanlah
milik kami melainkan milik masyarakat, itu adalah PEMAKAMAN UMUM. Jika
dipakaikan nisan beton, tentu orang akan canggung untuk membongkar dan
menggunakan tempat itu lagi. Kalaupun dibongkar, ayah menakutkan kemungkinan diinjaknya
nisan, karena disana pasti ada tulisan nama yang maha Agung, yaitu “Allah” dan
“Muhammad” ataupun ayat suci lainnya.
Karena pesan ayah itulah, sampai sekarang kami masih menjaga
makam tanpa memasangkan nisan beton. Kami yakin, indahnya makam bukanlah karena
nisannya, toh banyak juga makam yang dipasangkan nisan bagus tapi tak pernah
dibersihkan. Lagipula yang Almarhum/Almarhumah harapkan disana adalah syafa’at
bukan hiasan keduniaan belaka.
0 komentar:
Post a Comment