Ngawur tentang Pemilu
Kutulis ini,
murni kerena kecintaanku kepada Indonesia dan Terkhusus kecintaanku pada
provinsiku NTB. Bukan atas dasar ingin menjatuhkan yang satu dan meninggikan
yang lain.
Beberapa bulan lagi, pesta demokrasi di NTB
akan dilangsungkan. Di jalan-jalan sudah bertebaran spanduk, baliho, dan
atribut-atribut dari para calon gubernur. Selain pilgub, tanggal 14 mei nanti
juga akan berlangsung pemilihan bupati Lombok Timur. Jadi disini saya akan
memberikan komentar mengenai dua pemilihan yang kita sebut pesta demokrasi ini.
Tapi sebelum masuk dan mulai berkomentar, penulis ada pertanyaan, bener nggak
sih namanya itu “Pesta Demokrasi”?. Pembaca setuju nggak, kalau pemilihan umum
sama dengan pesta demokrasi..? hehehe.. kok jadi muter-muter pertanyaannya,
singkatnya gini, setuju nggak dengan Demokrasi (dalam hal ini Pemilu)?. Mhmmm..
kalau menurut penulis sih, ada setuju dan ada nggaknya. Pertama, penulis Setuju karena pemilu merupakan pengejawantahan
dari paham kedaulatan yang dianut bangsa Indonesia, kedaulatan rakyat tidak
dijalankan oleh sebuah lembaga Negara tetapi oleh berbagai lembaga Negara
melalui cara-cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Hal ini sekaligus untuk menghindarkan terjadinya penyelewengan
dalam praktek penyelenggaraan Negara. Kedua,
penulis tidak setuju dengan pemilu yang sekarang karena terlalu beresiko
dimana masyarakat diharuskan memilih orang yang tidak dikenal. Yang lebih
parah, dalam pemilu sekarang, jumlah hitungan suara seorang professor sama
dengan suara seorang yang tidak sekolah. Secara logika, tentu ini tidak masuk
akal. Seorang professor memilih calon pemimpin karena memiliki alasan dan sudah
dipertimbangkan akibatnya dimasa depan, berbeda dengan seorang yang yang tidak
sekolah yang asal memilih, alasannya memilih terbatas hanya karena diberikan
baju, sembako, uang, dan lain sebagainya.
Oke, cukup sudah tanggapan saya
tentang pemilu secara umum. Sekarang saya akan mengemukakan pendapat mengenai
pemilu gubernur dan pemilu bupati.
Kadang-kadang lucu bagi saya,
melihat foto para calon yang terpampang di pinggir jalan. Wajahnya unik-unik,
mulai dari yang baby face sampai berwajah mirip artis. Semuanya tersenyum
manis. Selain senyum, yang tak kalah manis adalah janjinya. Haha.. sudah
rahasia umum, mustahil seorang calon tanpa janji manis.
Hal yang
menarik dari pemilu sekarang adalah nge-trennya
calon dengan label “Tuan Guru”. Ya ya ya. Hal ini dapat dipahami, karena Tuan
Guru adalah suatu gelar kehormatan bagi seorang ustadz yang sangat dihormati
dan disegani. Tuan Guru adalah profesi yang mulia, mengajarkan masyarakat untuk
memahami agama dengan benar. Bagi saya pribadi, NO PROBLEM bagi seorang Tuan
Guru mencalonkan diri sebagai pemimpin. Malah saya sangat mendukung, dengan
harapan ia bisa melakukan pembangunan sebagaimana yang telah dicontohkan
Rasulullah saw, karena sebagai Tuan Guru tentunya ia sudah tahu apa kewajiban
dan tanggungjawabnya jika terpilih, dan yang terpenting ia tahu mana yang
termasuk haknya dan mana yang bukan haknya (dengan kata lain, tidak korupsi).
Guru PKWN
saya disekolah pernah bertanya ”apakah anda setuju kalau seorang Tuan Guru masuk
kedalam dunia politik?”. Tanpa menunggu lama, sahabat-sahabat sekelas saya
langsung angkat tangan dan berkomentar. Kebanyakan dari mereka mengatakan TIDAK
SETUJU dengan alasan ketika menjadi pejabat seorang Tuan Guru akan sibuk dan
kehilangan fungsinya sebagai Tuan Guru yaitu mengajar masyarakat. Alasan yang
lain adalah karena Tuan Guru bukan malaikat, Tuan Guru hanya manusia biasa yang
bisa saja tergoda dan akhirnya melakukan pelanggaran, seperti korupsi.
Lalu saya
berkomentar terhadap semua alasan itu. saya mengatakan, “sah-sah saja seorang Tuan Guru masuk dunia politik, tidak ada dalil
yang melarang, perlu di ingat Rasulullah saw juga seorang pemimpin Negara yang
artinya ikut langsung dalam dunia politik. Tidak ada alasan menolak orang baik
untuk berpolitik. Paradigma yang berkembang sekarang sudah menjadikan politik
sebagai kambing hitam diatas semua kerancauan pembangunan di negeri ini.
Padahal tidak seperti itu. Hal yang ingin saya katakan disini adalah, bukan
politik yang kotor, tapi orang yang menjalankannya. Sekarang coba anda
bayangkan kalau orang baik seperti Tuan Guru tidak boleh berpolitik dan yang
boleh berpolitik hanya orang tidak baik saja, apa jadinya negeri ini.”
Begitulah
pandangan saya tentang masuknya seorang Tuan Guru ke dalam dunia politik. Tapi
walaupun saya sedemikian setuju dengan hal tersebut. Hal yang perlu dicermati
adalah, mana yang benar-benar Tuan Guru dan mana Tuan Guru sesaat (hanya pada
saat pemilu saja).
Untuk
membedakan Tuan Guru asli dan Tuan Guru bajakan, tidak terlalu sulit. Pertama, Perhatikan saat kampanye,
seorang Tuan Guru asli, tak akan pernah menjual ayat suci Al-Qur’an. Karena Tuan
Guru asli tahu resiko dan bahayanya, Rasulullah saw, sudah menegaskan bagaimana
orang yang menggunakan ayat Al-Qur’an untuk membela kepentingannya sendiri. Kedua, seorang Tuan Guru asli tidak
berani memberikan janji-janji yang berlebihan, karena ia tahu belum tentu besok
ia masih diberi kesempatan hidup, jadi hanya berani berjanji akan melakukan
yang terbaik. Ketiga, Tuan Guru asli
tidak akan menyalah-nyalahkan saingannya.
Untuk
seluruh masyarakat, saya menyarankan untuk berhati-hati, karena pilihan kita
akan menentukan bagaimana perkembangan daerah kita selama lima tahun ke depan.
..MARI
BERSATU WUJUDKAN NTB YANG LEBIH BAIK..
0 komentar:
Post a Comment